CERITA DARI EMPAT BANDARA INTERNASIONAL
oleh : Lalu Gita Ariadi
Di weekend minggu lalu (18-19 Oktober 2019), selaku Komisaris PT ITDC berkesempatan mengikuti Philippines Master Class for Risk Governance yg di selenggarakan oleh ERMA ( Enterprise Risk Management Academy ) di The Manila Hotel. Selain aktif mengikuti event utama, ada kebiasaan, membuat coretan catatan ringan serba-serbi perjalan sebagai oleh-oleh.
Perjalanan kemarin, sesungguhnya nyaris tanpa oleh-oleh. Agendanya serius indoor, tehnis substantif dan sangat padat, dengan hadirkan pakar-pakar kompetent. Nyaris tidak ada slot waktu untuk jalan-jalan sekedar melihat dari dekat Istana Malacanang, naik angkot Jeepney apalagi untuk melihat dari dekat rumah atau sasana tinju Many Pacqiaou, petarung hebat dari Filipina itu.
Namun betapapun padat dan seriusnya acara, perjalanan jauh pasti punya cerita. Lama hidup banyak dirasa, panjang jalan banyak di lihat. Alhasil weekend padat melelahkan itu, juga menyisakan ceritanya sendiri. Cerita singgahi 4 Bandara Internasional dalam waktu 3 hari dengan rona-rona pengalaman.
Hasrat menulis oleh-oleh perjalanan, tidak muncul di awal perjalanan. Tapi justru membuncah dengan berbagai inspirasi justru di ujung akhir perjalanan. Ketika pulang dan berada di depan loket imigrasi Bandara Internasional Lombok, di rumah sendiri. Ada apa gerangan ?
Pelayanan imigrasi
Jumat sore (18/10), berangkat dari BIL/LIA ke Jakarta. Mendarat di Terminal 1 (T1) Soekarno-Hatta International Airport ( SHIA ). Selanjutnya transfer ke T3 jalur internasional menggunakan sky train. Sungguh ini pengalaman baru pertama, sambil dalam hati berbisik, waow kayak di luar negeri.
Proses imigrasi di T3 SHIA berjalan lancar, dalam ruangan yg nyaman dengan petugas yg handal. Meski suasana ramai penumpang, tak terdengar komplain. Semua terlayani dengan baik dan lancar hingga penerbangan dini hari dengan Philippines Airlines tepat pada waktu yg ditentukan.
Setelah 4 – 5 jam penerbangan, landinglah di Ninoy Aquino International Airport (NAIA). Proses imigrasi berjalan tertib. Petugas imigrasi, sesekali menatap tajam memastikan foto pasport dengan wajah asli, bertanya rencana lama tinggal, tujuan kedatangan dan mitra lokal. Lalu perintah scane sidik jari, selesai.
Dipagi hari itu, NAIA belum banyak penumpang lalu lalang. Suasana bandara tidak semeriah T3 SHIA. Dilorong keluar terminal kedatangan bahkan berdiri banyak stiger pertanda NAIA sedang rekonstruksi dan pembenahan. Diluar area NAIA tampak bangunan-bangunan tua dan kesan tidak terlalu bersih. Klakson mobil kadang memekakkan telinga ketika ada kemacetan di persimpangan jalan. Angkutan umum Jeepney berpacu dengan kendaraan lainnya disepanjang jalan di pinggir Manila Bay hingga menuju The Manila Hotel dan seterusnya.
Dida seorang wisatawan dari Jakarta, bercerita pengalamannya di Manila sebagai kota yang belum bervisi pariwisata. Jauh lebih baik jakarta Indonesia katanya. Kulinernya pun tidak oke. Disana sini serba makanan tidak halal. Untuk mencari makanan halal, Ade dan Sinta wisatawan dari jakarta juga, harus menempuh perjalanan cukup jauh ke daerah Makati hingga akhirnya bertemu Rumah Makan Garuda ( padang ) di dekat KBRI di Filipina.
Diterminal keberangkatan Internasional NAIA, serupa dengan terminal kedatangan internasionalnya. Terkesan sangat sederhana untuk ukuran sebuah bandara internasional di ibukota negara. 11 gate keberangkatan dengan property standart. Etalase barang branded dan souvenirpun terbatas. Jauh dari suasana T3 SHIA maupun KLIA2 yang gemerlap dengan neonbox petunjuk informasi berbagai hal secara lengkap dan mudah dimengerti oleh penumpang/wisatawan.
Ketika landing dini haripun di Kuala Lumpur International Airport (KLIA 2) masih terasa aman dan nyaman. Untuk menuju hotel sama-sama ( Sama-sama Hotel ) di dalam KLIA2 misalnya atau hotel2 kecil diluar bandara dengan fasilitas antar jemput sejauh 10-15 Km ( 10 menit ) sekelas Tune Hotel, Royal City Hotel dll dengan tarif 250 ringgit, 500 ringgit, 750 ringgit dan seterusnya tersedia dan terlayani dengan baik.
Sudah cukup sering rasanya keluar masuk KLIA2. Suasananya selalu ramai, bersih, cukup terawat, etalase semarak barang branded, kuliner dan souvenir. Layanan imigrasinyapun bagus. Meskipun antreannya mengular tapi flow nya cepat karena bilik loket imigrasi nya banyak. Bilik imigrasi ramah lingkungan. Petugas dibatasi kaca dengan posisi duduk petugas setara dengan posisi klien yg berdiri. Komunikasi petugas-klien berlangsung sangat komunikatif dan menyenangkan.
Kondisi itu sangat kontras dengan layanan imigrasi di Bandara Internasional Lombok pada hari minggu 20 Oktober 2019 kala Air Asia tiba dari Kuala Lumpur dengan penumpang wisatawan mancanegara ( WNA ) yg jumlahnya hampir sebanding dengan jumlah penumpang Warga Negara Indonesia (WNI) yang mudik sebagai Pekerja Migran Indonesia, keperluan dinas, bisnis maupun kepentingan lainnya.
Di jalur layanan imigrasi bagi WNA, dari 2 loket yang ada hanya diisi 1 petugas. Dijalur layanan imigrasi bagi WNI lebih parah lagi. Bilik paling utara berisi 2 loket diisi oleh seorang petugas, sehingga pak Rusnan ( ? ) harus geser kanan geser kiri layani 2 loket tersebut. Bilik di selatan yg berisi 2 loket, tidak ada petugas yg melayani. Konon petugasnya tidak masuk karena sakit.
Selain petugas yang kurang, fasilitas bilik imigrasi perlu diperbaiki karena bilik dan loket saat ini kurang nyaman, tidak komunikatif dan tidak humanis. Bilik terbuat dari partisi kayu/texwood atau sejenisnya yg terkesan tertutup. Di 3 bandara internasional terdahulu, berbahan kaca sehingga lebih terbuka dan interaktif.
Bilik Imigrasi BIL bentuknya juga tidak humanis. Petugas seakan berada di ketinggian sementara klien memasukkan pasport lewat lubang loket yang tidak lebar. Bila postur tubuh klien agak jangkung, bahkan harus membungkuk. Petugas duduk entah dimana di ketinggian, klien susah payah berkomunikasi sambil membungkuk.
Suasana tidak nyaman ini harus segera di perbaiki agar imigrasi ciptakan image awal kunjungan yang baik. Terlebih disaat Gubernur NTB – Dr. Zulkieflimansyah sedang giat merintis dan ikhtiar membuka direct flight yang baru dari dan ke BIL seperti dari Darwin, Sydney, Incheon Korea, Thailand, Haneda bahkan 4 Desember 2019 nanti direncanakan direct flight BIL – Jeddah.
Ditengah keterbatasan fiskal, pemprop NTB berjuang memberikan marketing fund agar maskapai berkenan membuka jalur baru dari dan ke kantong-kantong pariwisata dunia.
Ombudsmen RI perwakilan NTB sebagai institusi yg ditugakan negara mengawasi pelaksanaan pelayanan publik di NTB harus memberikan atensi atas layanan imigrasi di BIL ini. Pelayanan publik sebagaimana diatur dlm UU nomor 25 tahun 2009, PP 96 tahun 2012, Perda NTB nomor 34 tahun 2017 serta ketentuan organik lainnya terkait pelayanan publik dan ketentuan ke imigrasian diharapkan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tidak mencoreng wajah kepariwisataan NTB.
Pihak/petugas imigrasi tentu harus sangat paham ungkapan iklan sebuah produk : kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda……Wassalam
Puyung, 21 oktober 2019.