Rumput Laut Antar Warga ke Tanah Suci
DESA yang semula memiliki udara panas menyengat ini kemarin terasa lebih sejuk. Mendung yang menyelimuti salah satu desa terujung di Kecamatan Jerowaru tersebut menghalangi mentari Desa Seri we menyimpan sejuta potensi. Baik keindahan alam hingga potensi hasil lautnya. Salah satunya adalah rumput laut.
Di sepanjang lahan kosong yang ada di desa ini, tak satupun dibiarkan nganggur. Lahan milik masyarakat terlihat dipenuhi tumpukan rumput laut berwarna merah muda yang tengah dijemur maupun yang masih berwarna hijau baru dipanen. Maklum ini adalah desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan pembu didaya rumput laut.
“Memang ada yang menjadi nelayan melaut menangkap ikan. Tapi sebagian besar memilih jadi pembudidaya rumput laut sejak tahun 80-an lalu,” terang H Sahirudin, salah seorang warga Desa Seriwe.
Rumput laut sudah identik dengan masyarakat Desa Seriwe. Mulai dari pasang surut hingga harga melambung tinggi seperti saat ini.”Dari anak saya masih kecil sampai sekarang sudah tamat kuliah, usaha kami di sini ya masih tetap rumput laut. Kami tidak bisa berpaling dari usaha ini,” timpal Muksin sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Usaha budidaya rumput laut adalah dinilai cocok bagi masyarakat pesisir dengan ekonomi lemah. Tidak butuh biaya tinggi untuk menekuni usaha ini. Namun jika cuaca mendukung dan harga bersahabat, hasilnya sangat menjanjikan. Terlebih mereka yang tidak memiliki sawah, bisa memanfaatkan pesisir seluas luasnya untuk menekuni usaha ini. “Alhamdulillah, modalnya bisa cukup Rp 2 juta. Itu nanti ketika panen dengan harga seperti saat ini bisa omzetnya mencapai puluhan juta,” beber H Sahirudin. Dengan rincian ia menjelaskan untuk membeli bibit rumput laut bisa mencapai Rp 250 ribu per kuintal. Biasanya, para pembudidaya ini akan menanam paling sedikit 5-10 kuintal. Nantinya, ketika panen, rumput laut yang mencapai satu ton kering. Dengan harga per kilo bisa mencapai Rp 15 ribu. Sehingga, saat panen para nelayan budidaya rumput laut ini pun bisa mengantongi keuntungan puluhan juta rupiah. Di satu sisi, waktu untuk panenpun terbilang cukup singkat jikadibanding dengan hasil pertanian di ladang. Maksimal 45 hari, warga sudah bisa panen bibit rumput laut yang sudah ditebar di tengah laut dan diikat menggunakan tali. Jadi jangan heran ketika melihat bangunan rumah warga di Desa Seriwe begitu megah dan mewah.
Tak kalah dari rumahwarga di wilayah perkotaan seperti Selong dan Mataram. “Iya betul, semua ini murni dari hasil rumput laut. Bahkan saya sama istri bisa berhaji dari usaha ini,” ungkap Sahirudin. Sehingga, usaha rumput laut seolah membawa berkah bagi Desa Seri we. Dimana, warga tidak hanya bisa membangun rumah tetapi juga mampu menyekolahkan anak mereka hingga perguruan tinggi Muksin misalnya, ia menuturkan tiga anaknya telah lulus perguruan tinggi di Lombok Timur dengan dua anaknya mengambil jurusan keperawatan dan satu anak mengambil jurusan Ilmu Pendidikan. Dua orang jadi perawat jadi guru. Alhamdulillah semua biayanya bersumber dari hasil budidaya rumput laut,” tutur pria bersahaja ini Kalau kita hanya mengandalkan jadi nelayan, sulit kita bisa membiayai anak sekolah Tapi Alhamdulillah mereka yang menekuni usaha ini rata-rata menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi,” sambungnya. Meski demikian, sama seperti usaha lainnya budidaya rumput laut juga memiliki risiko kerugian Itu terjadi ketika harga anjlok ataupun tanaman rumput laut rusak akibat suhu air laut naik “Ya, untung rugi sudah biasa.Tapi ruginya kan nggak terlalu besar Itu karena harga yang murah sampai Rp 4.000 per kilogram Tapi Alhamdulillah selama ini bisa menopang hidup kami tutur warga kompak. Dari pengakuan warga, rumput laut produsksi Desa Seriwe nantinya akan dikirim ke Surabaya dan daerah Pulau Jawa. Disana, rumput laut ini akan diolah menjadi berbagai olahan makanan hingga bahan kosmetik. (r2)